ARTIKEL
SEJARAH
SITUS
SEJARAH DI INDONESIA
DISUSUN
OLEH:
DICKY J. PANJAITAN
CANDI
BOROBUDUR
A.
SEJARAH CANDI BOROBUDUR
Borobudur
dibangun sekitar tahun 800 Masehi atau abad ke-9. Candi Borobudur dibangun oleh
para penganut agama Buddha Mahayana pada masa pemerintahan Wangsa Syailendra.
Candi ini dibangun pada masa kejayaan dinasti Syailendra. Pendiri Candi
Borobudur yaitu Raja Samaratungga yang berasal dari wangsa atau dinasti
Syailendra. Kemungkinan candi ini dibangun sekitar tahun 824 M dan selesai
sekitar menjelang tahun 900-an Masehi pada masa pemerintahan Ratu
Pramudawardhani yang adalah putri dari Samaratungga. Sedangkan arsitek yang
berjasa membangun candi ini menurut kisah turun-temurun bernama Gunadharma.
Kata
Borobudur sendiri berdasarkan bukti tertulis pertama yang ditulis oleh Sir
Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Britania Raya di Jawa, yang memberi
nama candi ini. Tidak ada bukti tertulis yang lebih tua yang memberi nama
Borobudur pada candi ini. Satu-satunya dokumen tertua yang menunjukkan
keberadaan candi ini adalah kitab Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu
Prapanca pada tahun 1365. Di kitab tersebut ditulis bahwa candi ini digunakan
sebagai tempat meditasi penganut Buddha.
Arti
nama Borobudur yaitu "biara di perbukitan", yang berasal dari kata
"bara" (candi atau biara) dan "beduhur" (perbukitan atau
tempat tinggi) dalam bahasa Sansekerta. Karena itu, sesuai dengan arti nama
Borobudur, maka tempat ini sejak dahulu digunakan sebagai tempat ibadat penganut
Buddha.
Candi
ini selama berabad-abad tidak lagi digunakan. Kemudian karena letusan gunung
berapi, sebagian besar bangunan Candi Borobudur tertutup tanah vulkanik. Selain
itu, bangunan juga tertutup berbagai pepohonan dan semak belukar selama
berabad-abad. Kemudian bangunan candi ini mulai terlupakan pada zaman Islam
masuk ke Indonesia sekitar abad ke-15.
Pada
tahun 1814 saat Inggris menduduki Indonesia, Sir Thomas Stamford Raffles
mendengar adanya penemuan benda purbakala berukuran raksasa di desa Bumisegoro
daerah Magelang. Karena minatnya yang besar terhadap sejarah Jawa, maka Raffles
segera memerintahkan H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk
menyelidiki lokasi penemuan yang saat itu berupa bukit yang dipenuhi semak
belukar.
Cornelius
dibantu oleh sekitar 200 pria menebang pepohonan dan menyingkirkan semak
belukar yang menutupi bangunan raksasa tersebut. Karena mempertimbangkan
bangunan yang sudah rapuh dan bisa runtuh, maka Cornelius melaporkan kepada
Raffles penemuan tersebut termasuk beberapa gambar. Karena penemuan itu,
Raffles mendapat penghargaan sebagai orang yang memulai pemugaran Candi
Borobudur dan mendapat perhatian dunia. Pada tahun 1835, seluruh area candi
sudah berhasil digali. Candi ini terus dipugar pada masa penjajahan Belanda.
Setelah
Indonesia merdeka, pada tahun 1956, pemerintah Indonesia meminta bantuan UNESCO
untuk meneliti kerusakan Borobudur. Lalu pada tahun 1963, keluar keputusan
resmi pemerintah Indonesia untuk melakukan pemugaran Candi Borobudur dengan
bantuan dari UNESCO. Namun pemugaran ini baru benar-benar mulai dilakukan pada
tanggal 10 Agustus 1973. Proses pemugaran baru selesai pada tahun 1984. Sejak
tahun 1991, Candi Borobudur ditetapkan sebagai World Heritage Site atau Warisan
Dunia oleh UNESCO.
B. CANDI
BOROBUDUR
Candi
Borobudur terletak di Magelang, Jawa Tengah, sekitar 40 km dari Yogyakarta.
Candi Borobudur memiliki 10 tingkat yang terdiri dari 6 tingkat berbentuk bujur
sangkar, 3 tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai
puncaknya. Di setiap tingkat terdapat beberapa stupa. Seluruhnya terdapat 72
stupa selain stupa utama. Di setiap stupa terdapat patung Buddha. Sepuluh
tingkat menggambarkan filsafat Buddha yaitu sepuluh tingkatan Bodhisattva yang
harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha di nirwana.
Kesempurnaan ini dilambangkan oleh stupa utama di tingkat paling atas. Struktur
Borobudur bila dilihat dari atas membentuk struktur mandala yang menggambarkan
kosmologi Buddha dan cara berpikir manusia.
Di
keempat sisi candi terdapat pintu gerbang dan tangga ke tingkat di atasnya
seperti sebuah piramida. Hal ini menggambarkan filosofi Buddha yaitu semua
kehidupan berasal dari bebatuan. Batu kemudian menjadi pasir, lalu menjadi
tumbuhan, lalu menjadi serangga, kemudian menjadi binatang liar, lalu binatang
peliharaan, dan terakhir menjadi manusia. Proses ini disebut sebagai
reinkarnasi. Proses terakhir adalah menjadi jiwa dan akhirnya masuk ke nirwana.
Setiap tahapan pencerahan pada proses kehidupan ini berdasarkan filosofi Buddha
digambarkan pada relief dan patung pada seluruh Candi Borobudur.
Bangunan
raksasa ini hanya berupa tumpukan balok batu raksasa yang memiliki ketinggian
total 42 meter. Setiap batu disambung tanpa menggunakan semen atau perekat.
Batu-batu ini hanya disambung berdasarkan pola dan ditumpuk. Bagian dasar Candi
Borobudur berukuran sekitar 118 m pada setiap sisi. Batu-batu yang digunakan
kira-kira sebanyak 55.000 meter kubik. Semua batu tersebut diambil dari sungai
di sekitar Candi Borobudur. Batu-batu ini dipotong lalu diangkut dan disambung
dengan pola seperti permainan lego. Semuanya tanpa menggunakan perekat atau
semen.
Sedangkan
relief mulai dibuat setelah batu-batuan tersebut selesai ditumpuk dan
disambung. Relief terdapat pada dinding candi. Candi Borobudur memiliki 2670
relief yang berbeda. Relief ini dibaca searah putaran jarum jam. Relief ini
menggambarkan suatu cerita yang cara membacanya dimulai dan diakhiri pada pintu
gerbang di sebelah timur. Hal ini menunjukkan bahwa pintu gerbang utama Candi
Borobudur menghadap timur seperti umumnya candi Buddha lainnya.
C. PERAYAN
WAISAK DI BOROBUDUR
Setiap
tahun pada bulan purnama penuh pada bulan Mei (atau Juni pada tahun kabisat),
umat Buddha di Indonesia memperingati Waisak di Candi Borobudur. Waisak
diperingati sebagai hari kelahiran, kematian dan saat ketika Siddharta Gautama
memperoleh kebijaksanaan tertinggi dengan menjadi Buddha Shakyamuni. Ketiga
peristiwa ini disebut sebagai Trisuci Waisak. Upacara Waisak dipusatkan pada
tiga buah candi Buddha dengan berjalan dari Candi Mendut ke Candi Pawon dan
berakhir di Candi Borobudur.
Pada
malam Waisak, khususnya saat detik-detik puncak bulan purnama, penganut Buddha
berkumpul mengelilingi Borobudur. Pada saat itu, Borobudur dipercayai sebagai
tempat berkumpulnya kekuatan supranatural. Menurut kepercayaan, pada saat
Waisak, Buddha akan muncul secara kelihatan pada puncak gunung di bagian
selatan.
DANAU TOBA
A. SEJARAH
DANAU TOBA
Danau
Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran panjang 100 kilometer dan lebar
30 kilometer yang terletak di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Danau ini
merupakan danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Di tengah danau ini
terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir.
Danau
Toba sejak lama menjadi daerah tujuan wisata penting di Sumatera Utara selain
Bukit Lawang dan Nias, menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Diperkirakan
Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 73.000-75.000 tahun yang lalu dan
merupakan letusan supervolcano (gunung berapi super) yang paling baru. Bill
Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological University memperkirakan
bahwa bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2.800 km³,
dengan 800 km³ batuan ignimbrit dan 2.000 km³ abu vulkanik yang diperkirakan
tertiup angin ke barat selama 2 minggu. Debu vulkanik yang ditiup angin telah
menyebar ke separuh bumi, dari Cina sampai ke Afrika Selatan. Letusannya
terjadi selama 1 minggu dan lontaran debunya mencapai 10 km di atas permukaan
laut.
Kejadian
ini menyebabkan kematian massal dan pada beberapa spesies juga diikuti
kepunahan. Menurut beberapa bukti DNA, letusan ini juga menyusutkan jumlah
manusia sampai sekitar 60% dari jumlah populasi manusia bumi saat itu, yaitu
sekitar 60 juta manusia. Letusan itu juga ikut menyebabkan terjadinya zaman es,
walaupun para ahli masih memperdebatkannya.
Setelah
letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi
yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum
keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir.
Tim
peneliti multidisiplin internasional, yang dipimpin oleh Dr. Michael Petraglia,
mengungkapkan dalam suatu konferensi pers di Oxford, Amerika Serikat bahwa
telah ditemukan situs arkeologi baru yang cukup spektakuler oleh para ahli
geologi di selatan dan utara India. Di situs itu terungkap bagaimana orang
bertahan hidup, sebelum dan sesudah letusan gunung berapi (supervolcano) Toba
pada 74.000 tahun yang lalu, dan bukti tentang adanya kehidupan di bawah
timbunan abu Gunung Toba. Padahal sumber letusan berjarak 3.000 mil, dari
sebaran abunya.
Selama
tujuh tahun, para ahli dari oxford University tersebut meneliti projek
ekosistem di India, untuk mencari bukti adanya kehidupan dan peralatan hidup
yang mereka tinggalkan di padang yang gundul. Daerah dengan luas ribuan hektare
ini ternyata hanya sabana (padang rumput). Sementara tulang belulang hewan
berserakan. Tim menyimpulkan, daerah yang cukup luas ini ternyata ditutupi debu
dari letusan gunung berapi purba.
Penyebaran
debu gunung berapi itu sangat luas, ditemukan hampir di seluruh dunia. Berasal
dari sebuah erupsi supervolcano purba, yaitu Gunung Toba. Dugaan mengarah ke
Gunung Toba, karena ditemukan bukti bentuk molekul debu vulkanik yang sama di
2100 titik. Sejak kaldera kawah yang kini jadi danau Toba di Indonesia, hingga
3000 mil, dari sumber letusan. Bahkan yang cukup mengejutkan, ternyata
penyebaran debu itu sampai terekam hingga Kutub Utara. Hal ini mengingatkan
para ahli, betapa dahsyatnya letusan super gunung berapi Toba kala itu.
B. DANAU
TOBA
Tidak
ada satupun yang tidak tau nama Danau Toba. Obyek wisata ini kondang seantero
tanah air, dari anak kecil hingga orang dewasa. Danau toba terletak di propinsi
Sumatra Utara, secara administratif ia masuk diwilayah Tapanuli Utara atau
dikenal dengan sebutan popular Tobasa (Toba Samosir). Dari Medan, posisinya
lumayan jauh dan menempuh perjalanan panjang ketika menuju kesana. Hampir
seperti jarak tempuh Jakarta-Bandung, yakni 3 jam atau lebih. Kota yang akan
dilewati setelah Medan adalah Pematang Siantar, satu kota terbesar kedua
setelah Medan.
Jadi
jika berangkat pagi hari, maka tepat saat jam makan siang kita akan masuk
kewilayah kota Parapat, kota yang menjadi jantung terbesar ditepi jalan raya
yang menghubungkan kota Medan kemari.
Pada awalnya saya tidak menyangka perjalanan akan sejauh ini. Sungguh,
saya pikir hanya sepenggalan jarak yang sama dengan Jakarta-Sukabumi, atau
Surabaya-Malang. Ternyata, alamak jauh juga.
Merapat
kemari dengan perut yang sudah mulai berbunyi, kita bergegas keluar mobil untuk
meluruskan otot yang keram akibat terlalu lama duduk diam didalam mobil selama
perjalanan. Kota Parapat yang letaknya tepat ditepi danau, adalah kota yang
tergeletak indah dilereng lereng perbukitan. Dari atas inilah tampak view indah
Danau Toba, menukik kebawah diantara lereng tajam. Sungguh, sebuah danau yang amat sangat besar
dan ditengahnya terhampar sebuah pulau, bernama pulau Samosir. Tempat ini cukup tinggi dan berhawa sejuk
menyenangkan. Perut lapar dan capek diperjalanan seperti terhapus dengan
melihat pemandangan elok serta udara yg sejuk dingin.
Wilayah
ini bagi “orang Batak” disebut sebagai tempat asal muasal “Batak sesungguhnya”.
Disinilah berdiam marga marga yang diyakini inilah wajah Batak seutuhnya.
Penjelasannya sbb:
Orang
Batak terdiri dari 5 sub etnis yang secara geografis dibagi sbb:
1.
Batak Toba (Tapanuli) : mendiami Kabupaten Toba Samosir, Tapanuli Utara,
Tapanuli Tengah mengunakan bahasa Batak Toba.
2.
Batak Simalungun : mendiami Kabupaten Simalungun, sebagian Deli Serdang, dan
menggunakan bahasa Batak Simalungun.
3.
Batak Karo : mendiami Kabupaten Karo, Langkat dan sebagian Aceh dan menggunakan
bahasa Batak Karo. Mereka lebih suka menyebut dirinya sebagai orang Melayu.
4.
Batak Mandailing : mendiami Kabupaten Tapanuli Selatan, Wilayah Pakantan dan
Muara Sipongi dan menggunakan bahasa Batak Mandailing, geografis mereka lebih
dekat dengan Padang.
5.
Batak Pakpak : mendiami Kabupaten Dairi, dan Aceh Selatan dan menggunakan
bahasa Pakpak.
Suku
Nias yang mendiami Kabupaten Nias (Pulau Nias) mengatakan bahwa mereka bukanlah
orang Batak karena nenek moyang mereka bukan berasal dari Tanah Batak. Namun
demikian, mereka mempunyai marga marga seperti halnya orang Batak. Yang disebut
wilayah Tanah Batak atau Tano Batak ialah daerah hunian sekeliling Danau Toba,
Sumatera Utara. Seandainya tidak mengikuti pembagian daerah oleh Belanda
[politik devide et impera] seperti sekarang, Tanah Batak konon masih sampai di
Aceh Selatan dan Aceh Tenggara.
BATAK ALAS GAYO
Beberapa
lema/dialek di daerah Alas dan Gayo sangat mirip dengan lemah bahasa Batak.
Demikian juga nama Si Alas dan Si Gayo ada dalam legenda dan tarombo Batak.
Dalam Tarombo Bona Laklak [tarombo pohon Beringin] yang dilukis cukup indah
oleh L.Sitio [1921] nama Si Jau Nias, dan Si Ujung Aceh muncul setara nama
Sorimangaraja atau Si Raja Batak I. Disusul kemudian hadirnya Si Gayo dan Si
Alas setara dengan Si Raja Siak Dibanua yang memperanakkan Sorimangaraja, kakek
dari Si Raja Batak.
BATAK PAKPAK
Sebagian
kecil orang Pakpak enggan disebut sebagai orang Batak karena sebutan MPU Bada
tidak berkaitan dengan kata OMPU Bada dalam bahasa Batak. Kata MPU menurut
etnis Pakpak setara dengan kata MPU yang berasal dari gelar di Jawa [MPU
Sendok, MPU Gandring]. Tetapi bahasa Pakpak sangat mirip dengan bahasa Batak, demikian
juga falsafah hidupnya.
BATAK KARO
Sub
etnis ini juga bersikukuh tidak mau disebut sebagai kelompok etnis Batak.
Menurut Prof Dr. Henry G Tarigan [IKIP Negeri Bandung] sudah ada 84 sebutan
nama marga orang Karo. Itu sebabnya, orang Karo tidak sepenuhnya berasal dari
etnis Batak, karena adanya pendatang kemudian yang bergabung, misalnya marga
Colia, Pelawi, Brahmana dsb. Selama ini di Tanah Karo dikenal adanya MERGA
SILIMA [5 Marga].
BATAK NIAS
Suku
Nias yang mendiami Kabupaten Nias (Pulau Nias) mengatakan bahwa mereka bukanlah
orang Batak karena nenek moyang mereka bukan berasal dari Tanah Batak, bukan
dari Pusuk Buhit. Masuk akal karena secara geografis pulau Nias terleta agak
terpencil di Samudera Indonesia, sebelah barat Sumatera Utara.Namun demikian,
mereka mempunyai marga marga seperti halnya orang Batak.
Ada
cerita unik yang pernah diutarakan oleh salah satu teman. Ketika Jepang datang
kemari, ada satu orang perwira Jepang yang suka memberi makan ikan liar yang
hidup di Danau Toba. Setiap pagi dan sore, ia mengayuh sampannya dari tepian
danau, lantas membunyikan genta berkali kali sambil menyebarkan makanan.
Ratusan ikan datang melahap makanan itu. Bertahun tahun ia melakukan itu,
hingga akhirnya Jepang itu meninggal dikemudian hari. Ikan yang telah terbiasa
makan pada jam dan posisi yang sama seperti kehilangan makanan dan kebiasaan
rutin mereka. Penduduk yang tahu akan hal ini kemudian mengikuti langkah Jepang
tersebut. Mereka beramai ramai membawa jala pada pagi dan petang sembari membunyikan
genta. Ratusan ekor ikan ditangkap setiap minggunya. Hingga akhirnya, tidak ada
ikan liar satupun yang tersisa.
Benar
tidaknya cerita itu sudah tidak ada yang ingat. Kenyataannya, danau Toba
dijaman modern ini bukan sentra penghasil ikan air tawar di sumut. Pemerintah
kemudian berusaha merangsang penduduk lokal dengan memberi bantuan benih ikan
dalam karamba untuk dipelihara agar menjadi sumber mata pencaharian mereka.
TUGU
KHATULISTIWA
Tugu
Khatulistiwa atau Equator Monument berada di Jalan Khatulistiwa, Pontianak
Utara, Propinsi Kalimantan Barat. Lokasinya berada sekitar 3 km dari pusat Kota
Pontianak, ke arah kota Mempawah.
Tugu
ini menjadi salah satu ikon wisata Kota Pontianak dan selalu dikunjungi
masyarakat, khususnya wisatawan yang datang ke Kota Pontianak.
Sejarah
mengenai pembangunan tugu ini dapat dibaca pada catatan yang terdapat di dalam
gedung. Catatan pada Tugu Khatulistiwa
Dalam
catatan tersebut disebutkan bahwa : Berdasarkan catatan yang diperoleh pada
tahun 1941 dari V. en. W oleh Opzichter Wiese dikutip dari Bijdragen tot de
geographie dari Chef Van den topographischen dienst in Nederlandsch- Indië :
Den 31 sten Maart 1928 telah datang di Pontianak satu ekspedisi Internasional
yang dipimpin oleh seorang ahli Geografi berkebangsaan Belanda untuk menentukan
titik/tonggak garis equator di kota Pontianak dengan konstruksi sebagai berikut
:
a.
Tugu pertama dibangun tahun 1928 berbentuk tonggak dengan anak panah.
b.
Tahun 1930 disempurnakan, berbentuk tonggak dengan lingkarang dan anak panah.
c.
Tahun 1938 dibangun kembali dengan penyempurnaan oleh opzicter / architech
Silaban. Tugu asli tersebut dapat dilihat pada bagian dalam.
d.
Tahun tahun 1990, kembali Tugu Khatulistiwa tersebut direnovasi dengan
pembuatan kubah untuk melindungi tugu asli serta pembuatan duplikat tugu dengan
ukuran lima kali lebih besar dari tugu yang aslinya. Peresmiannya pada tanggal
21 September 1991.
Bangunan
tugu terdiri dari 4 buah tonggak kayu belian (kayu besi), masing-masing
berdiameter 0,30 meter, dengan ketinggian tonggak bagian depan sebanyak dua
buah setinggi 3,05 meter dan tonggak bagian belakang tempat lingkaran dan anak
panah penunjuk arah setinggi 4,40 meter.
Diameter
lingkaran yang ditengahnya terdapat tulisan EVENAAR sepanjang 2,11 meter. Panjang
penunjuk arah 2,15 meter.
Tulisan
plat di bawah anak panah tertera 109o 20' OLvGr menunjukkan letak berdirinya
tugu khatulistiwa pada garis Bujur Timur.
Pada
bulan Maret 2005, Tim Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan
koreksi untuk menentukan lokasi titik nol garis khatulistiwa di Kota Pontianak.
Koreksi dilakukan dengan menggunakan gabungan metoda terestrial dan
ekstraterestrial yaitu menggunakan global positioning system (GPS) dan
stake-out titik nol garis khatulistiwa dikoreksi
Hasil
pengukuran oleh tim BPPT, menunjukkan, posisi tepat Tugu Khatulistiwa saat ini
berada pada 0 derajat, 0 menit, 3,809 detik lintang utara; dan, 109 derajat, 19
menit, 19,9 detik bujur timur
Sementara,
posisi 0 derajat, 0 menit dan 0 detik ternyata melewati taman atau tepatnya 117
meter ke arah Sungai Kapuas dari arah tugu saat ini. Di tempat itulah kini
dibangun patok baru yang masih terbuat dari pipa PVC dan belahan garis barat-timur
ditandai dengan tali rafia.
Mengenai
posisi yang tertera dalam tugu (0 derajat, 0 menit dan 0 detik lintang, 109
derajat 20 menit, 0 detik bujur timur), berdasarkan hasil pelacakan tim BPPT,
titik itu terletak 1,2 km dari Tugu Khatulistiwa, tepatnya di belakang sebuah
rumah di Jl Sungai Selamat, kelurahan Siantan Hilir.
Peristiwa
penting dan menakjubkan di sekitar Tugu Khatulistiwa adalah saat terjadinya
titik kulminasi matahari, yakni fenomena alam ketika Matahari tepat berada di
garis khatulistiwa. Pada saat itu posisi matahari akan tepat berada diatas
kepala sehingga menghilangkan semua bayangan benda-benda dipermukaan bumi. Pada
peristiwa kulminasi tersebut, bayangan tugu akan "menghilang"
beberapa detik saat diterpa sinar Matahari. Demikian juga dengan bayangan benda-benda
lain disekitar tugu.
Peristiwa
titik kulminasi Matahari itu terjadi setahun dua kali, yakni antara tanggal
21-23 Maret dan 21-23 September. Peristiwa alam ini menjadi event tahunan kota
Pontianak yang menarik kedatangan wisatawan
MAKAM BATULAYANG
A. SELAYANG PANDANG
Makam
Batu Layang adalah kompleks permakaman para sultan Kesultanan Kadriah sejak
sultan pertama, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, hingga sultan terakhir,
Sultan Hamid II Alkadrie. Di kompleks permakaman ini, juga dimakamkan para
permaisuri dan pangeran Kesultanan Kadriah Pontianak.
Permakaman
Batu Layang telah dibangun sejak masa pemerintahan Sultan Syarif Abdurrahman
Alkadrie (1771-1808 Masehi). Keberadaan makam ini tidak bisa dilepaskan dari
didirikannya Kota Pontianak oleh Syarief Abdurrahman Alkadrie.
Para
pengunjung yang akan memasuki makam harus melewati gapura yang dicat dengan
warna kuning. Warna kuning ini juga terdapat pada pagar semen yang mengelilingi
kompleks permakaman. Setelah melewati gapura dan menunju pintu masuk,
pengunjung diwajibkan untuk melepas alas kaki.
Makam
Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, pendiri Kesultanan Kadriah Pontianak,
terlihat menjadi sentral dari areal permakaman ini. Makam ini terletak di
tengah, lurus dengan jalan ketika para pengunjung akan memasuki kompleks
permakaman.
Makam
Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie ditempatkan di ruangan tersendiri yang mirip
dengan bunker kecil sehingga para pengunjung yang akan memasuki makam tersebut
harus menundukkan kepala. Pembuatan tempat semacam ini lebih bermakna simbolis,
yaitu dengan maksud agar para pengunjung yang akan masuk menundukkan kepala
sebagai wujud penghormatan kepada sang pendiri Kesultanan Kadriah Pontianak.
Makam
para sultan di sini kebanyakan mempunyai warna nisan yang sama, yaitu berwarna
emas. Selain itu, nisan-nisan di permakaman ini juga ditulisi huruf Arab yang
melambangkan bahwa Kesultanan Kadriah Pontianak memang bernafaskan Islam. Hal
ini sesuai dengan sejarah pendirian Kesultanan Kadriah Pontianak oleh Sultan
Syarif Abdurrahman Alkadrie, yang merupakan seorang ulama dari daerah yang bernama
Hadramaut, Yaman Selatan.
Makam para sultan
Perpaduan
warna kuning (emas) yang melambangkan warna khas Melayu dipadu dengan tulisan
Arab yang bernuansa Islam menunjukkan bahwa Kesultanan Kadriah Pontianak
dibangun berdasarkan percampuran budaya, setidaknya didominasi oleh dua
kebudayaan, yaitu Arab dan Melayu. Cerminan perpaduan kebudayaan ini bahkan
terbawa pada bentuk nisan dan makam yang ada di Batu Layang ini.
Di
luar kompleks permakaman, tampak gundukan batu yang dicat dengan warna hijau.
Gundukan inilah yang disebut sebagai Batu Layang. Di dekat Batu Layang,
terdapat sebuah meriam yang dicat dengan warna kuning.
Inilah yang disebut Batu Layang
Makam
Batu Layang biasa ramai dikunjungi menjelang atau pada saat hari-hari besar
Islam seperti Idul Fitri, Maulid Nabi Muhammad SAW, dan lain-lain.
B.
KEISTIMEWAAN
Makam
Batu Layang adalah tempat permakaman bagi para sultan di Kesultanan Kadriah
Pontianak. Tempat ini menyimpan bukti sejarah tentang kebesaran Kesultanan
Kadriah dan cikal bakal berdirinya Kota Pontianak. Arsitektur bangunan (nisan)
yang merupakan perpaduan budaya Islam dan Melayu jelas terlihat di makam ini.
C.
LOKASI
Makam
para sultan di Kesultanan Kadriah Pontianak terletak di daerah yang bernama
Batu Layang, kira-kira berjarak 15 kilometer dari muara Sungai Kapuas atau 2
kilometer dari Tugu Khatulistiwa di Batu Layang, Pontianak.
D.
HARGA TIKET
Pengunjung
yang akan berziarah ke Makam Batu Layang tidak dipungut biaya masuk.
E.
AKSES
Makam
Batu Layang bisa dicapai dengan menggunakan mobil sekitar 15 menit dari Tugu
Khatulistiwa. Bisa pula ditempuh dengan menggunakan transportasi air berupa
sampan dari Pelabuhan Kota Pontianak dengan tarif Rp 10.000,00 sekali jalan.
F.
Fasilitas dan Akomodasi Lainnya
Di
luar kompleks permakaman, terdapat surau yang bisa digunakan untuk sholat
sekaligus mendoakan arwah para sultan dan keluarga sultan yang telah dimakamkan
di Makam Batu Layang. Selain surau, di sekitar makam juga terdapat
warung-warung kecil yang menyediakan berbagai makanan dan minuman untuk
melayani para pengunjung yang ingin makan dan minum.
MAKAM MANDOR
TAK
banyak yang mengetahui, di Desa Mandor -sekitar 88 km dari kota Pontianak-
terdapat kuburan massal ribuan korban keganasan penjajah Jepang tahun
1942-1945. Kuburan massal yang dijadikan monumen Makam Juang Mandor itu,
terletak di tepi jalan raya yang menghubungkan Pontianak dengan Kabupaten
Sintang dan Kabupaten Sanggau.
Meski
hanya kota kecamatan, Mandor memiliki arti penting dalam sejarah Kalimantan
Barat. Di sinilah Jepang membantai 21.037 rakyat Kalbar, termasuk 48 pemuka
masyarakat Kalbar. Setiap 28 Juni, Pemda Kalbar mengadakan upacara di Makam
Juang Mandor, mengenang peristiwa getir ini.
Kekejaman
penjajah Jepang waktu itu dapat disaksikan melalui relief-relief pada monumen
yang diresmikan pada 28 Juni 1977 silam oleh Gubernur Kalbar (waktu itu)
Kadarusno. Relief-relief yang dibuat oleh mahasiswa ASRI Yogyakarta itu
memberikan gambaran sekilas kekejaman serdadu Jepang.
Di
Makam Juang Mandor terdapat 10 kuburan massal. Selain itu, terdapat pula
lapangan terbuka yang dulunya dijadikan lokasi pembunuhan massal.Makam ini
berada di kawasan hutan lindung yang suasananya cukup menyeramkan.
Makam
nomor 10 yang letaknya paling ujung, dihiasi gapura khusus. Konon di sinilah
dikuburkan Sultan Pontianak bersama 60 anggota keluarganya. Juga 11 panembahan,
raja-raja kecil, serta tokoh masyarakat di Kalimantan Barat.
Antara
lain bisa disebutkan di sini, Syarif Muhammad Alkadrie (Sultan Pontianak, gugur
pada usia 74 tahun), Pangeran Adipati (putra Sultan Pontianak, 31), Gusti
Saunan (Panembahan Ketapang, 44), Muhammad Ibrahim (Sultan Sambas, 40), Tengku
Idris (Panembahan Sukadana, 50), Gusti Mesir (Penembangan Simpang, 43), Syarif
Saleh (Penembahan Kubu, 63), Gusti Abdul Hamid (Penembahan Ngabang, 42), Ade
Muhammad Arief (Penembahan Sanggau, 40), Gusti Muhammad Kelip (Penembahan
Sekadau, 41), Muhammad Taufiek (Penembahan Mempawah, 63), Raden Abdul Bahry
Daru Perdana (Penembahan Sintang), dr Roebini (mertua Wiyogo Atmodarminto, 39,
yang saat itu menjabat sebagai direktur rumah sakit Pontianak) dan istrinya
Amelia, Tji Bun Kie (wartawan) dan banyak nama lainnya.
Pembantaian
ribuan warga Kalbar terjadi karena pemerintah pendudukan Jepang curiga pada
gerak-gerik tokoh masyarakat Kalbar. Mereka dinilai dapat mengganggu legitimasi
pemerintah pendudukan Jepang. Dalam relief-relief digambarkan prosesi
penangkapan dan pembunuhan korban. Setelah tentara Dai Nippon mengetahui
rahasia yang disampaikan utusan dari Banjarmasin ke Pontianak, dimulailah
penangkapan besar- besaran terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang dicurigai.
Mereka dimasukkan ke dalam truk, dan dibawa ke lokasi pembantaian (yang berada
di kawasan Mandor).
Relief
itu juga menggambarkan bagaimana tentara Dai Nippon menghabisi korban.
Saat-saat pembantaian dilukiskan cukup detail. Para korban antre berjajar
menghadap lubang, lalu secara beruntun dipancung dengan pedang samurai.
Pembantaian
ini dikisahkan pula oleh Tsuno Iseki, orang Jepang yang pernah tinggal di
Kalbar pada 1928-1946 dan fasih berbahasa Indonesia, dalam buku berjudul
Peristiwa Pembantaian Penduduk Borneo Barat:
Pembuktian
Peristiwa Pontianak yang terbit Juli 1987 di Jepang. Taizo Watanabe ketika
menjabat Duta Besar Jepang untuk Indonesia pernah berkunjung ke Makam Juang
Mandor ini. Sejarah gelap pendudukan Jepang di Kalbar memang tak mungkin
terlupakan.
RIBUAN
mayat korban keganasan Jepang ini dibiarkan berserakan di lokasi. Sampai Jepang
bertekuk lutut, pasukan Australia mewakili Sekutumasuk ke Mandor yang selama
Jepang Berkuasa, merupakan daerah militer terlarang.
Tentara
Australia membutuhkan waktu tiga bulan untuk mengumpulkan tulang-belulang yang
berserakan di sana, dan kemudian bersama penduduk setempat, menguburnya dalam
10 lubang kuburan massal.
Pasukan
Sekutu membangun kuburan massal Mandor selama tiga tahun (1946-1949). Di setiap
kuburan massal, dibuat bangunan kayu tak berdinding. Setelah Sekutu
meninggalkan Indonesia, kuburan massal di Mandor selama 18 tahun tak terawat.
Mereka yang hendak berziarah, harus bersusah payah melewati semak-belukar.
Tahun
1973, atas prakarsa Gubernur Kalbar (waktu itu) Kadarusno, makam juang Mandor
mulai diperhatikan lagi. Kadarusno memprakarsai ziarah massal ke Mandor pada 28
Juni 1973. Semak belukar pun dibersihkan.
Tahun
1976, Pemda Kalbar memugar kawasan Mandor, dengan memugar bangunan yang
menaungi kuburan massal dan melebarkan jalan menuju lokasi 10 makam agar bisa
dilalui kendaraan. Tahun 1977 Monumen Sejarah Makam Juang Mandor diresmikan.
Monumen berbentuk dinding beton berlapis marmer, dengan relief di kanan-kirinya
itu dikerjakan para mahasiswa ASRI Yogyakarta.
Menurut
cerita Abdus Somad (62), penjaga makam, sebelumnya iadiminta Kadarusno untuk
menggali tanah di Mandor. “Ternyata setelah digali, kami menemukan tulang-belulang
manusia bertumpuk di dalamtanah, termasuk yang berserakan di sekitar hutan,”
kata Somad yang hingga sekarang bekerja sebagai perawat makam.
Uniknya,
kata pria kelahiran Ketapang (Kalbar) ini, ketika melakukan penggalian di
tengah hutan belantara dengan pepohonan yang rimbun (yang kini dikenal dengan
Makam No 10), ia menemukan dua jenazah manusia yang masih utuh.
Yang
satu, perempuan dalam keadaan tangan terikat ke depan, rambut masih utuh, mata
tertutup kain, mengenakan kebaya dan selendang. Jenazah pria, mengenakan
pakaian putih dan sepatu. Kaos kaki masih tersimpan di dalam saku kiri
celananya. “Namun begitu kena matahari, jenazah itu langsung tinggal kerangka,”
ungkapnya. Kedua kerangka itu dipindahkan dan dimakamkan di dekat Monumen Makam
Juang Mandor.
SAYANGNYA,
Makam Juang Mandor belum menjadi obyek wisata sejarah yang dikunjungi banyak
wisatawan yang datang ke Kalbar. Menurut penjaga makam Juang Mandor, Abdus
Somad, pada hari biasa, hanya ada satu-dua orang yang datang. Pada hari Minggu
dan hari-hari tertentu, makam ini dikunjungi masyarakat, termasuk kerabat dan sanak-saudara
korban keganasan Jepang yang berziarah.
Di
sana, dibangun pendopo yang menggantungkan sejumlah foto korban keganasan
Jepang. Sayang, tidak dilengkapi dengan sejarah dan peranan tokoh masyarakat
bersangkutan sehingga pengunjung masih menyimpan sejumlah pertanyaan yang tak
terjawab.
Tampaknya
pemda setempat sudah berupaya menjadikan Makam Juang Mandor sebagai obyek
wisata sejarah. Hanya mungkin kurang dilengkapi dengan daya tarik lain.
Misalnya kios yang menjual buku sejarah kekejaman Jepang di Mandor,
suvenir-suvenir khas daerah setempat. Juga mungkin karena tak ada prasarana
pendukung seperti rumah makan, atau pemandu yang dapat menjelaskan sejarah
Mandor kepada turis-turis asing dan lokal.
Entah kurang promosi,
entah kurang gencarnya biro perjalanan Kalbar menjual Makam Juang Mandor,
sehingga kondisinyamemprihatinkan dan kurang perawatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar