Sabtu, 18 Februari 2012

ARTIKEL SITUS SEJARAH

ARTIKEL SEJARAH
SITUS SEJARAH DI INDONESIA

DISUSUN OLEH:

DICKY J. PANJAITAN
 
CANDI BOROBUDUR


A.    SEJARAH CANDI BOROBUDUR

Borobudur dibangun sekitar tahun 800 Masehi atau abad ke-9. Candi Borobudur dibangun oleh para penganut agama Buddha Mahayana pada masa pemerintahan Wangsa Syailendra. Candi ini dibangun pada masa kejayaan dinasti Syailendra. Pendiri Candi Borobudur yaitu Raja Samaratungga yang berasal dari wangsa atau dinasti Syailendra. Kemungkinan candi ini dibangun sekitar tahun 824 M dan selesai sekitar menjelang tahun 900-an Masehi pada masa pemerintahan Ratu Pramudawardhani yang adalah putri dari Samaratungga. Sedangkan arsitek yang berjasa membangun candi ini menurut kisah turun-temurun bernama Gunadharma.
Kata Borobudur sendiri berdasarkan bukti tertulis pertama yang ditulis oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Britania Raya di Jawa, yang memberi nama candi ini. Tidak ada bukti tertulis yang lebih tua yang memberi nama Borobudur pada candi ini. Satu-satunya dokumen tertua yang menunjukkan keberadaan candi ini adalah kitab Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365. Di kitab tersebut ditulis bahwa candi ini digunakan sebagai tempat meditasi penganut Buddha.
Arti nama Borobudur yaitu "biara di perbukitan", yang berasal dari kata "bara" (candi atau biara) dan "beduhur" (perbukitan atau tempat tinggi) dalam bahasa Sansekerta. Karena itu, sesuai dengan arti nama Borobudur, maka tempat ini sejak dahulu digunakan sebagai tempat ibadat penganut Buddha.
Candi ini selama berabad-abad tidak lagi digunakan. Kemudian karena letusan gunung berapi, sebagian besar bangunan Candi Borobudur tertutup tanah vulkanik. Selain itu, bangunan juga tertutup berbagai pepohonan dan semak belukar selama berabad-abad. Kemudian bangunan candi ini mulai terlupakan pada zaman Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-15.
Pada tahun 1814 saat Inggris menduduki Indonesia, Sir Thomas Stamford Raffles mendengar adanya penemuan benda purbakala berukuran raksasa di desa Bumisegoro daerah Magelang. Karena minatnya yang besar terhadap sejarah Jawa, maka Raffles segera memerintahkan H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki lokasi penemuan yang saat itu berupa bukit yang dipenuhi semak belukar.

Cornelius dibantu oleh sekitar 200 pria menebang pepohonan dan menyingkirkan semak belukar yang menutupi bangunan raksasa tersebut. Karena mempertimbangkan bangunan yang sudah rapuh dan bisa runtuh, maka Cornelius melaporkan kepada Raffles penemuan tersebut termasuk beberapa gambar. Karena penemuan itu, Raffles mendapat penghargaan sebagai orang yang memulai pemugaran Candi Borobudur dan mendapat perhatian dunia. Pada tahun 1835, seluruh area candi sudah berhasil digali. Candi ini terus dipugar pada masa penjajahan Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1956, pemerintah Indonesia meminta bantuan UNESCO untuk meneliti kerusakan Borobudur. Lalu pada tahun 1963, keluar keputusan resmi pemerintah Indonesia untuk melakukan pemugaran Candi Borobudur dengan bantuan dari UNESCO. Namun pemugaran ini baru benar-benar mulai dilakukan pada tanggal 10 Agustus 1973. Proses pemugaran baru selesai pada tahun 1984. Sejak tahun 1991, Candi Borobudur ditetapkan sebagai World Heritage Site atau Warisan Dunia oleh UNESCO.

B.     CANDI BOROBUDUR
Candi Borobudur terletak di Magelang, Jawa Tengah, sekitar 40 km dari Yogyakarta. Candi Borobudur memiliki 10 tingkat yang terdiri dari 6 tingkat berbentuk bujur sangkar, 3 tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Di setiap tingkat terdapat beberapa stupa. Seluruhnya terdapat 72 stupa selain stupa utama. Di setiap stupa terdapat patung Buddha. Sepuluh tingkat menggambarkan filsafat Buddha yaitu sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha di nirwana. Kesempurnaan ini dilambangkan oleh stupa utama di tingkat paling atas. Struktur Borobudur bila dilihat dari atas membentuk struktur mandala yang menggambarkan kosmologi Buddha dan cara berpikir manusia.
Di keempat sisi candi terdapat pintu gerbang dan tangga ke tingkat di atasnya seperti sebuah piramida. Hal ini menggambarkan filosofi Buddha yaitu semua kehidupan berasal dari bebatuan. Batu kemudian menjadi pasir, lalu menjadi tumbuhan, lalu menjadi serangga, kemudian menjadi binatang liar, lalu binatang peliharaan, dan terakhir menjadi manusia. Proses ini disebut sebagai reinkarnasi. Proses terakhir adalah menjadi jiwa dan akhirnya masuk ke nirwana. Setiap tahapan pencerahan pada proses kehidupan ini berdasarkan filosofi Buddha digambarkan pada relief dan patung pada seluruh Candi Borobudur.
Bangunan raksasa ini hanya berupa tumpukan balok batu raksasa yang memiliki ketinggian total 42 meter. Setiap batu disambung tanpa menggunakan semen atau perekat. Batu-batu ini hanya disambung berdasarkan pola dan ditumpuk. Bagian dasar Candi Borobudur berukuran sekitar 118 m pada setiap sisi. Batu-batu yang digunakan kira-kira sebanyak 55.000 meter kubik. Semua batu tersebut diambil dari sungai di sekitar Candi Borobudur. Batu-batu ini dipotong lalu diangkut dan disambung dengan pola seperti permainan lego. Semuanya tanpa menggunakan perekat atau semen.
Sedangkan relief mulai dibuat setelah batu-batuan tersebut selesai ditumpuk dan disambung. Relief terdapat pada dinding candi. Candi Borobudur memiliki 2670 relief yang berbeda. Relief ini dibaca searah putaran jarum jam. Relief ini menggambarkan suatu cerita yang cara membacanya dimulai dan diakhiri pada pintu gerbang di sebelah timur. Hal ini menunjukkan bahwa pintu gerbang utama Candi Borobudur menghadap timur seperti umumnya candi Buddha lainnya.
C.     PERAYAN WAISAK DI BOROBUDUR
Setiap tahun pada bulan purnama penuh pada bulan Mei (atau Juni pada tahun kabisat), umat Buddha di Indonesia memperingati Waisak di Candi Borobudur. Waisak diperingati sebagai hari kelahiran, kematian dan saat ketika Siddharta Gautama memperoleh kebijaksanaan tertinggi dengan menjadi Buddha Shakyamuni. Ketiga peristiwa ini disebut sebagai Trisuci Waisak. Upacara Waisak dipusatkan pada tiga buah candi Buddha dengan berjalan dari Candi Mendut ke Candi Pawon dan berakhir di Candi Borobudur.
Pada malam Waisak, khususnya saat detik-detik puncak bulan purnama, penganut Buddha berkumpul mengelilingi Borobudur. Pada saat itu, Borobudur dipercayai sebagai tempat berkumpulnya kekuatan supranatural. Menurut kepercayaan, pada saat Waisak, Buddha akan muncul secara kelihatan pada puncak gunung di bagian selatan.

DANAU TOBA


A.    SEJARAH DANAU TOBA
Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer yang terletak di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Danau ini merupakan danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir.
Danau Toba sejak lama menjadi daerah tujuan wisata penting di Sumatera Utara selain Bukit Lawang dan Nias, menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 73.000-75.000 tahun yang lalu dan merupakan letusan supervolcano (gunung berapi super) yang paling baru. Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological University memperkirakan bahwa bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2.800 km³, dengan 800 km³ batuan ignimbrit dan 2.000 km³ abu vulkanik yang diperkirakan tertiup angin ke barat selama 2 minggu. Debu vulkanik yang ditiup angin telah menyebar ke separuh bumi, dari Cina sampai ke Afrika Selatan. Letusannya terjadi selama 1 minggu dan lontaran debunya mencapai 10 km di atas permukaan laut.
Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan pada beberapa spesies juga diikuti kepunahan. Menurut beberapa bukti DNA, letusan ini juga menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar 60% dari jumlah populasi manusia bumi saat itu, yaitu sekitar 60 juta manusia. Letusan itu juga ikut menyebabkan terjadinya zaman es, walaupun para ahli masih memperdebatkannya.
Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir.
Tim peneliti multidisiplin internasional, yang dipimpin oleh Dr. Michael Petraglia, mengungkapkan dalam suatu konferensi pers di Oxford, Amerika Serikat bahwa telah ditemukan situs arkeologi baru yang cukup spektakuler oleh para ahli geologi di selatan dan utara India. Di situs itu terungkap bagaimana orang bertahan hidup, sebelum dan sesudah letusan gunung berapi (supervolcano) Toba pada 74.000 tahun yang lalu, dan bukti tentang adanya kehidupan di bawah timbunan abu Gunung Toba. Padahal sumber letusan berjarak 3.000 mil, dari sebaran abunya.
Selama tujuh tahun, para ahli dari oxford University tersebut meneliti projek ekosistem di India, untuk mencari bukti adanya kehidupan dan peralatan hidup yang mereka tinggalkan di padang yang gundul. Daerah dengan luas ribuan hektare ini ternyata hanya sabana (padang rumput). Sementara tulang belulang hewan berserakan. Tim menyimpulkan, daerah yang cukup luas ini ternyata ditutupi debu dari letusan gunung berapi purba.
Penyebaran debu gunung berapi itu sangat luas, ditemukan hampir di seluruh dunia. Berasal dari sebuah erupsi supervolcano purba, yaitu Gunung Toba. Dugaan mengarah ke Gunung Toba, karena ditemukan bukti bentuk molekul debu vulkanik yang sama di 2100 titik. Sejak kaldera kawah yang kini jadi danau Toba di Indonesia, hingga 3000 mil, dari sumber letusan. Bahkan yang cukup mengejutkan, ternyata penyebaran debu itu sampai terekam hingga Kutub Utara. Hal ini mengingatkan para ahli, betapa dahsyatnya letusan super gunung berapi Toba kala itu.

B.     DANAU TOBA
Tidak ada satupun yang tidak tau nama Danau Toba. Obyek wisata ini kondang seantero tanah air, dari anak kecil hingga orang dewasa. Danau toba terletak di propinsi Sumatra Utara, secara administratif ia masuk diwilayah Tapanuli Utara atau dikenal dengan sebutan popular Tobasa (Toba Samosir). Dari Medan, posisinya lumayan jauh dan menempuh perjalanan panjang ketika menuju kesana. Hampir seperti jarak tempuh Jakarta-Bandung, yakni 3 jam atau lebih. Kota yang akan dilewati setelah Medan adalah Pematang Siantar, satu kota terbesar kedua setelah Medan.
Jadi jika berangkat pagi hari, maka tepat saat jam makan siang kita akan masuk kewilayah kota Parapat, kota yang menjadi jantung terbesar ditepi jalan raya yang menghubungkan kota Medan kemari.  Pada awalnya saya tidak menyangka perjalanan akan sejauh ini. Sungguh, saya pikir hanya sepenggalan jarak yang sama dengan Jakarta-Sukabumi, atau Surabaya-Malang. Ternyata, alamak jauh juga. 
Merapat kemari dengan perut yang sudah mulai berbunyi, kita bergegas keluar mobil untuk meluruskan otot yang keram akibat terlalu lama duduk diam didalam mobil selama perjalanan. Kota Parapat yang letaknya tepat ditepi danau, adalah kota yang tergeletak indah dilereng lereng perbukitan. Dari atas inilah tampak view indah Danau Toba, menukik kebawah diantara lereng tajam.  Sungguh, sebuah danau yang amat sangat besar dan ditengahnya terhampar sebuah pulau, bernama pulau Samosir.  Tempat ini cukup tinggi dan berhawa sejuk menyenangkan. Perut lapar dan capek diperjalanan seperti terhapus dengan melihat pemandangan elok serta udara yg sejuk dingin.
Wilayah ini bagi “orang Batak” disebut sebagai tempat asal muasal “Batak sesungguhnya”. Disinilah berdiam marga marga yang diyakini inilah wajah Batak seutuhnya. Penjelasannya sbb:
Orang Batak terdiri dari 5 sub etnis yang secara geografis dibagi sbb:
1. Batak Toba (Tapanuli) : mendiami Kabupaten Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah mengunakan bahasa Batak Toba.
2. Batak Simalungun : mendiami Kabupaten Simalungun, sebagian Deli Serdang, dan menggunakan bahasa Batak Simalungun.
3. Batak Karo : mendiami Kabupaten Karo, Langkat dan sebagian Aceh dan menggunakan bahasa Batak Karo. Mereka lebih suka menyebut dirinya sebagai orang Melayu.
4. Batak Mandailing : mendiami Kabupaten Tapanuli Selatan, Wilayah Pakantan dan Muara Sipongi dan menggunakan bahasa Batak Mandailing, geografis mereka lebih dekat dengan Padang.
5. Batak Pakpak : mendiami Kabupaten Dairi, dan Aceh Selatan dan menggunakan bahasa Pakpak.
Suku Nias yang mendiami Kabupaten Nias (Pulau Nias) mengatakan bahwa mereka bukanlah orang Batak karena nenek moyang mereka bukan berasal dari Tanah Batak. Namun demikian, mereka mempunyai marga marga seperti halnya orang Batak. Yang disebut wilayah Tanah Batak atau Tano Batak ialah daerah hunian sekeliling Danau Toba, Sumatera Utara. Seandainya tidak mengikuti pembagian daerah oleh Belanda [politik devide et impera] seperti sekarang, Tanah Batak konon masih sampai di Aceh Selatan dan Aceh Tenggara.
BATAK ALAS GAYO
Beberapa lema/dialek di daerah Alas dan Gayo sangat mirip dengan lemah bahasa Batak. Demikian juga nama Si Alas dan Si Gayo ada dalam legenda dan tarombo Batak. Dalam Tarombo Bona Laklak [tarombo pohon Beringin] yang dilukis cukup indah oleh L.Sitio [1921] nama Si Jau Nias, dan Si Ujung Aceh muncul setara nama Sorimangaraja atau Si Raja Batak I. Disusul kemudian hadirnya Si Gayo dan Si Alas setara dengan Si Raja Siak Dibanua yang memperanakkan Sorimangaraja, kakek dari Si Raja Batak.
BATAK PAKPAK
Sebagian kecil orang Pakpak enggan disebut sebagai orang Batak karena sebutan MPU Bada tidak berkaitan dengan kata OMPU Bada dalam bahasa Batak. Kata MPU menurut etnis Pakpak setara dengan kata MPU yang berasal dari gelar di Jawa [MPU Sendok, MPU Gandring]. Tetapi bahasa Pakpak sangat mirip dengan bahasa Batak, demikian juga falsafah hidupnya.
BATAK KARO
Sub etnis ini juga bersikukuh tidak mau disebut sebagai kelompok etnis Batak. Menurut Prof Dr. Henry G Tarigan [IKIP Negeri Bandung] sudah ada 84 sebutan nama marga orang Karo. Itu sebabnya, orang Karo tidak sepenuhnya berasal dari etnis Batak, karena adanya pendatang kemudian yang bergabung, misalnya marga Colia, Pelawi, Brahmana dsb. Selama ini di Tanah Karo dikenal adanya MERGA SILIMA [5 Marga].
BATAK NIAS
Suku Nias yang mendiami Kabupaten Nias (Pulau Nias) mengatakan bahwa mereka bukanlah orang Batak karena nenek moyang mereka bukan berasal dari Tanah Batak, bukan dari Pusuk Buhit. Masuk akal karena secara geografis pulau Nias terleta agak terpencil di Samudera Indonesia, sebelah barat Sumatera Utara.Namun demikian, mereka mempunyai marga marga seperti halnya orang Batak.
Ada cerita unik yang pernah diutarakan oleh salah satu teman. Ketika Jepang datang kemari, ada satu orang perwira Jepang yang suka memberi makan ikan liar yang hidup di Danau Toba. Setiap pagi dan sore, ia mengayuh sampannya dari tepian danau, lantas membunyikan genta berkali kali sambil menyebarkan makanan. Ratusan ikan datang melahap makanan itu. Bertahun tahun ia melakukan itu, hingga akhirnya Jepang itu meninggal dikemudian hari. Ikan yang telah terbiasa makan pada jam dan posisi yang sama seperti kehilangan makanan dan kebiasaan rutin mereka. Penduduk yang tahu akan hal ini kemudian mengikuti langkah Jepang tersebut. Mereka beramai ramai membawa jala pada pagi dan petang sembari membunyikan genta. Ratusan ekor ikan ditangkap setiap minggunya. Hingga akhirnya, tidak ada ikan liar satupun yang tersisa. 
Benar tidaknya cerita itu sudah tidak ada yang ingat. Kenyataannya, danau Toba dijaman modern ini bukan sentra penghasil ikan air tawar di sumut. Pemerintah kemudian berusaha merangsang penduduk lokal dengan memberi bantuan benih ikan dalam karamba untuk dipelihara agar menjadi sumber mata pencaharian mereka.

TUGU KHATULISTIWA


Tugu Khatulistiwa atau Equator Monument berada di Jalan Khatulistiwa, Pontianak Utara, Propinsi Kalimantan Barat. Lokasinya berada sekitar 3 km dari pusat Kota Pontianak, ke arah kota Mempawah.
Tugu ini menjadi salah satu ikon wisata Kota Pontianak dan selalu dikunjungi masyarakat, khususnya wisatawan yang datang ke Kota Pontianak.
Sejarah mengenai pembangunan tugu ini dapat dibaca pada catatan yang terdapat di dalam gedung. Catatan pada Tugu Khatulistiwa
Dalam catatan tersebut disebutkan bahwa : Berdasarkan catatan yang diperoleh pada tahun 1941 dari V. en. W oleh Opzichter Wiese dikutip dari Bijdragen tot de geographie dari Chef Van den topographischen dienst in Nederlandsch- Indië : Den 31 sten Maart 1928 telah datang di Pontianak satu ekspedisi Internasional yang dipimpin oleh seorang ahli Geografi berkebangsaan Belanda untuk menentukan titik/tonggak garis equator di kota Pontianak dengan konstruksi sebagai berikut :
a. Tugu pertama dibangun tahun 1928 berbentuk tonggak dengan anak panah.
b. Tahun 1930 disempurnakan, berbentuk tonggak dengan lingkarang dan anak panah.
c. Tahun 1938 dibangun kembali dengan penyempurnaan oleh opzicter / architech Silaban. Tugu asli tersebut dapat dilihat pada bagian dalam.
d. Tahun tahun 1990, kembali Tugu Khatulistiwa tersebut direnovasi dengan pembuatan kubah untuk melindungi tugu asli serta pembuatan duplikat tugu dengan ukuran lima kali lebih besar dari tugu yang aslinya. Peresmiannya pada tanggal 21 September 1991.
Bangunan tugu terdiri dari 4 buah tonggak kayu belian (kayu besi), masing-masing berdiameter 0,30 meter, dengan ketinggian tonggak bagian depan sebanyak dua buah setinggi 3,05 meter dan tonggak bagian belakang tempat lingkaran dan anak panah penunjuk arah setinggi 4,40 meter.
Diameter lingkaran yang ditengahnya terdapat tulisan EVENAAR sepanjang 2,11 meter. Panjang penunjuk arah 2,15 meter.
Tulisan plat di bawah anak panah tertera 109o 20' OLvGr menunjukkan letak berdirinya tugu khatulistiwa pada garis Bujur Timur.
Pada bulan Maret 2005, Tim Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan koreksi untuk menentukan lokasi titik nol garis khatulistiwa di Kota Pontianak. Koreksi dilakukan dengan menggunakan gabungan metoda terestrial dan ekstraterestrial yaitu menggunakan global positioning system (GPS) dan stake-out titik nol garis khatulistiwa dikoreksi
Hasil pengukuran oleh tim BPPT, menunjukkan, posisi tepat Tugu Khatulistiwa saat ini berada pada 0 derajat, 0 menit, 3,809 detik lintang utara; dan, 109 derajat, 19 menit, 19,9 detik bujur timur
Sementara, posisi 0 derajat, 0 menit dan 0 detik ternyata melewati taman atau tepatnya 117 meter ke arah Sungai Kapuas dari arah tugu saat ini. Di tempat itulah kini dibangun patok baru yang masih terbuat dari pipa PVC dan belahan garis barat-timur ditandai dengan tali rafia.
Mengenai posisi yang tertera dalam tugu (0 derajat, 0 menit dan 0 detik lintang, 109 derajat 20 menit, 0 detik bujur timur), berdasarkan hasil pelacakan tim BPPT, titik itu terletak 1,2 km dari Tugu Khatulistiwa, tepatnya di belakang sebuah rumah di Jl Sungai Selamat, kelurahan Siantan Hilir.
Peristiwa penting dan menakjubkan di sekitar Tugu Khatulistiwa adalah saat terjadinya titik kulminasi matahari, yakni fenomena alam ketika Matahari tepat berada di garis khatulistiwa. Pada saat itu posisi matahari akan tepat berada diatas kepala sehingga menghilangkan semua bayangan benda-benda dipermukaan bumi. Pada peristiwa kulminasi tersebut, bayangan tugu akan "menghilang" beberapa detik saat diterpa sinar Matahari. Demikian juga dengan bayangan benda-benda lain disekitar tugu.
Peristiwa titik kulminasi Matahari itu terjadi setahun dua kali, yakni antara tanggal 21-23 Maret dan 21-23 September. Peristiwa alam ini menjadi event tahunan kota Pontianak yang menarik kedatangan wisatawan



MAKAM BATULAYANG

A. SELAYANG PANDANG
Makam Batu Layang adalah kompleks permakaman para sultan Kesultanan Kadriah sejak sultan pertama, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, hingga sultan terakhir, Sultan Hamid II Alkadrie. Di kompleks permakaman ini, juga dimakamkan para permaisuri dan pangeran Kesultanan Kadriah Pontianak.
Permakaman Batu Layang telah dibangun sejak masa pemerintahan Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie (1771-1808 Masehi). Keberadaan makam ini tidak bisa dilepaskan dari didirikannya Kota Pontianak oleh Syarief Abdurrahman Alkadrie.
Para pengunjung yang akan memasuki makam harus melewati gapura yang dicat dengan warna kuning. Warna kuning ini juga terdapat pada pagar semen yang mengelilingi kompleks permakaman. Setelah melewati gapura dan menunju pintu masuk, pengunjung diwajibkan untuk melepas alas kaki.
Makam Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, pendiri Kesultanan Kadriah Pontianak, terlihat menjadi sentral dari areal permakaman ini. Makam ini terletak di tengah, lurus dengan jalan ketika para pengunjung akan memasuki kompleks permakaman.
Makam Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie ditempatkan di ruangan tersendiri yang mirip dengan bunker kecil sehingga para pengunjung yang akan memasuki makam tersebut harus menundukkan kepala. Pembuatan tempat semacam ini lebih bermakna simbolis, yaitu dengan maksud agar para pengunjung yang akan masuk menundukkan kepala sebagai wujud penghormatan kepada sang pendiri Kesultanan Kadriah Pontianak.
Makam para sultan di sini kebanyakan mempunyai warna nisan yang sama, yaitu berwarna emas. Selain itu, nisan-nisan di permakaman ini juga ditulisi huruf Arab yang melambangkan bahwa Kesultanan Kadriah Pontianak memang bernafaskan Islam. Hal ini sesuai dengan sejarah pendirian Kesultanan Kadriah Pontianak oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, yang merupakan seorang ulama dari daerah yang bernama Hadramaut, Yaman Selatan.


Makam para sultan
Perpaduan warna kuning (emas) yang melambangkan warna khas Melayu dipadu dengan tulisan Arab yang bernuansa Islam menunjukkan bahwa Kesultanan Kadriah Pontianak dibangun berdasarkan percampuran budaya, setidaknya didominasi oleh dua kebudayaan, yaitu Arab dan Melayu. Cerminan perpaduan kebudayaan ini bahkan terbawa pada bentuk nisan dan makam yang ada di Batu Layang ini.

Di luar kompleks permakaman, tampak gundukan batu yang dicat dengan warna hijau. Gundukan inilah yang disebut sebagai Batu Layang. Di dekat Batu Layang, terdapat sebuah meriam yang dicat dengan warna kuning.

















Inilah yang disebut Batu Layang
Makam Batu Layang biasa ramai dikunjungi menjelang atau pada saat hari-hari besar Islam seperti Idul Fitri, Maulid Nabi Muhammad SAW, dan lain-lain.
B. KEISTIMEWAAN
Makam Batu Layang adalah tempat permakaman bagi para sultan di Kesultanan Kadriah Pontianak. Tempat ini menyimpan bukti sejarah tentang kebesaran Kesultanan Kadriah dan cikal bakal berdirinya Kota Pontianak. Arsitektur bangunan (nisan) yang merupakan perpaduan budaya Islam dan Melayu jelas terlihat di makam ini.
C. LOKASI
Makam para sultan di Kesultanan Kadriah Pontianak terletak di daerah yang bernama Batu Layang, kira-kira berjarak 15 kilometer dari muara Sungai Kapuas atau 2 kilometer dari Tugu Khatulistiwa di Batu Layang, Pontianak.
D. HARGA TIKET
Pengunjung yang akan berziarah ke Makam Batu Layang tidak dipungut biaya masuk.
E. AKSES
Makam Batu Layang bisa dicapai dengan menggunakan mobil sekitar 15 menit dari Tugu Khatulistiwa. Bisa pula ditempuh dengan menggunakan transportasi air berupa sampan dari Pelabuhan Kota Pontianak dengan tarif Rp 10.000,00 sekali jalan.
F. Fasilitas dan Akomodasi Lainnya
Di luar kompleks permakaman, terdapat surau yang bisa digunakan untuk sholat sekaligus mendoakan arwah para sultan dan keluarga sultan yang telah dimakamkan di Makam Batu Layang. Selain surau, di sekitar makam juga terdapat warung-warung kecil yang menyediakan berbagai makanan dan minuman untuk melayani para pengunjung yang ingin makan dan minum.


MAKAM MANDOR

TAK banyak yang mengetahui, di Desa Mandor -sekitar 88 km dari kota Pontianak- terdapat kuburan massal ribuan korban keganasan penjajah Jepang tahun 1942-1945. Kuburan massal yang dijadikan monumen Makam Juang Mandor itu, terletak di tepi jalan raya yang menghubungkan Pontianak dengan Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sanggau.
Meski hanya kota kecamatan, Mandor memiliki arti penting dalam sejarah Kalimantan Barat. Di sinilah Jepang membantai 21.037 rakyat Kalbar, termasuk 48 pemuka masyarakat Kalbar. Setiap 28 Juni, Pemda Kalbar mengadakan upacara di Makam Juang Mandor, mengenang peristiwa getir ini.
Kekejaman penjajah Jepang waktu itu dapat disaksikan melalui relief-relief pada monumen yang diresmikan pada 28 Juni 1977 silam oleh Gubernur Kalbar (waktu itu) Kadarusno. Relief-relief yang dibuat oleh mahasiswa ASRI Yogyakarta itu memberikan gambaran sekilas kekejaman serdadu Jepang.
Di Makam Juang Mandor terdapat 10 kuburan massal. Selain itu, terdapat pula lapangan terbuka yang dulunya dijadikan lokasi pembunuhan massal.Makam ini berada di kawasan hutan lindung yang suasananya cukup menyeramkan.
Makam nomor 10 yang letaknya paling ujung, dihiasi gapura khusus. Konon di sinilah dikuburkan Sultan Pontianak bersama 60 anggota keluarganya. Juga 11 panembahan, raja-raja kecil, serta tokoh masyarakat di Kalimantan Barat.
Antara lain bisa disebutkan di sini, Syarif Muhammad Alkadrie (Sultan Pontianak, gugur pada usia 74 tahun), Pangeran Adipati (putra Sultan Pontianak, 31), Gusti Saunan (Panembahan Ketapang, 44), Muhammad Ibrahim (Sultan Sambas, 40), Tengku Idris (Panembahan Sukadana, 50), Gusti Mesir (Penembangan Simpang, 43), Syarif Saleh (Penembahan Kubu, 63), Gusti Abdul Hamid (Penembahan Ngabang, 42), Ade Muhammad Arief (Penembahan Sanggau, 40), Gusti Muhammad Kelip (Penembahan Sekadau, 41), Muhammad Taufiek (Penembahan Mempawah, 63), Raden Abdul Bahry Daru Perdana (Penembahan Sintang), dr Roebini (mertua Wiyogo Atmodarminto, 39, yang saat itu menjabat sebagai direktur rumah sakit Pontianak) dan istrinya Amelia, Tji Bun Kie (wartawan) dan banyak nama lainnya.

Pembantaian ribuan warga Kalbar terjadi karena pemerintah pendudukan Jepang curiga pada gerak-gerik tokoh masyarakat Kalbar. Mereka dinilai dapat mengganggu legitimasi pemerintah pendudukan Jepang. Dalam relief-relief digambarkan prosesi penangkapan dan pembunuhan korban. Setelah tentara Dai Nippon mengetahui rahasia yang disampaikan utusan dari Banjarmasin ke Pontianak, dimulailah penangkapan besar- besaran terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang dicurigai. Mereka dimasukkan ke dalam truk, dan dibawa ke lokasi pembantaian (yang berada di kawasan Mandor).

Relief itu juga menggambarkan bagaimana tentara Dai Nippon menghabisi korban. Saat-saat pembantaian dilukiskan cukup detail. Para korban antre berjajar menghadap lubang, lalu secara beruntun dipancung dengan pedang samurai.
Pembantaian ini dikisahkan pula oleh Tsuno Iseki, orang Jepang yang pernah tinggal di Kalbar pada 1928-1946 dan fasih berbahasa Indonesia, dalam buku berjudul Peristiwa Pembantaian Penduduk Borneo Barat:
Pembuktian Peristiwa Pontianak yang terbit Juli 1987 di Jepang. Taizo Watanabe ketika menjabat Duta Besar Jepang untuk Indonesia pernah berkunjung ke Makam Juang Mandor ini. Sejarah gelap pendudukan Jepang di Kalbar memang tak mungkin terlupakan.
RIBUAN mayat korban keganasan Jepang ini dibiarkan berserakan di lokasi. Sampai Jepang bertekuk lutut, pasukan Australia mewakili Sekutumasuk ke Mandor yang selama Jepang Berkuasa, merupakan daerah militer terlarang.
Tentara Australia membutuhkan waktu tiga bulan untuk mengumpulkan tulang-belulang yang berserakan di sana, dan kemudian bersama penduduk setempat, menguburnya dalam 10 lubang kuburan massal.
Pasukan Sekutu membangun kuburan massal Mandor selama tiga tahun (1946-1949). Di setiap kuburan massal, dibuat bangunan kayu tak berdinding. Setelah Sekutu meninggalkan Indonesia, kuburan massal di Mandor selama 18 tahun tak terawat. Mereka yang hendak berziarah, harus bersusah payah melewati semak-belukar.
Tahun 1973, atas prakarsa Gubernur Kalbar (waktu itu) Kadarusno, makam juang Mandor mulai diperhatikan lagi. Kadarusno memprakarsai ziarah massal ke Mandor pada 28 Juni 1973. Semak belukar pun dibersihkan.
Tahun 1976, Pemda Kalbar memugar kawasan Mandor, dengan memugar bangunan yang menaungi kuburan massal dan melebarkan jalan menuju lokasi 10 makam agar bisa dilalui kendaraan. Tahun 1977 Monumen Sejarah Makam Juang Mandor diresmikan. Monumen berbentuk dinding beton berlapis marmer, dengan relief di kanan-kirinya itu dikerjakan para mahasiswa ASRI Yogyakarta.
Menurut cerita Abdus Somad (62), penjaga makam, sebelumnya iadiminta Kadarusno untuk menggali tanah di Mandor. “Ternyata setelah digali, kami menemukan tulang-belulang manusia bertumpuk di dalamtanah, termasuk yang berserakan di sekitar hutan,” kata Somad yang hingga sekarang bekerja sebagai perawat makam.
Uniknya, kata pria kelahiran Ketapang (Kalbar) ini, ketika melakukan penggalian di tengah hutan belantara dengan pepohonan yang rimbun (yang kini dikenal dengan Makam No 10), ia menemukan dua jenazah manusia yang masih utuh.
Yang satu, perempuan dalam keadaan tangan terikat ke depan, rambut masih utuh, mata tertutup kain, mengenakan kebaya dan selendang. Jenazah pria, mengenakan pakaian putih dan sepatu. Kaos kaki masih tersimpan di dalam saku kiri celananya. “Namun begitu kena matahari, jenazah itu langsung tinggal kerangka,” ungkapnya. Kedua kerangka itu dipindahkan dan dimakamkan di dekat Monumen Makam Juang Mandor.

SAYANGNYA, Makam Juang Mandor belum menjadi obyek wisata sejarah yang dikunjungi banyak wisatawan yang datang ke Kalbar. Menurut penjaga makam Juang Mandor, Abdus Somad, pada hari biasa, hanya ada satu-dua orang yang datang. Pada hari Minggu dan hari-hari tertentu, makam ini dikunjungi masyarakat, termasuk kerabat dan sanak-saudara korban keganasan Jepang yang berziarah.

Di sana, dibangun pendopo yang menggantungkan sejumlah foto korban keganasan Jepang. Sayang, tidak dilengkapi dengan sejarah dan peranan tokoh masyarakat bersangkutan sehingga pengunjung masih menyimpan sejumlah pertanyaan yang tak terjawab.
Tampaknya pemda setempat sudah berupaya menjadikan Makam Juang Mandor sebagai obyek wisata sejarah. Hanya mungkin kurang dilengkapi dengan daya tarik lain. Misalnya kios yang menjual buku sejarah kekejaman Jepang di Mandor, suvenir-suvenir khas daerah setempat. Juga mungkin karena tak ada prasarana pendukung seperti rumah makan, atau pemandu yang dapat menjelaskan sejarah Mandor kepada turis-turis asing dan lokal.
Entah kurang promosi, entah kurang gencarnya biro perjalanan Kalbar menjual Makam Juang Mandor, sehingga kondisinyamemprihatinkan dan kurang perawatan

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar